PERUSAHAAN membutuhkan Public Relation (PR) sebagai mata dan telinga. PR pun memainkan peran besar dalam membentuk opini publik tentang sebuah perusahaan.
Jargon yang kian terdengar, yakni "The Fall of Advertising and The Rise Of PR," rupanya bukan isapan jempol belaka. Kalimat yang merupakan judul buku karangan Al Ries dan Laura Ries ini, sedikit banyak mendeskripsikan dunia periklanan yang semakin surut dan bangkitnya profesi PR.
Tidak berlebihan kiranya, mengingat PR memiliki posisi yang sangat penting dalam sebuah organisasi maupun perusahaan. Terutama jika perusahaan tersebut kerap berinteraksi dengan masyarakat luas. Posisi PR sangat menentukan opini publik sebuah perusahaan. Sebab, PR merupakan salah satu front liner (ujung tombak) penting dalam membangun citra perusahaan.
Masalahnya, banyak anggapan jika ingin menjadi seorang PR yang andal, maka hanya bisa didapatkan dengan menuntut ilmu di luar negeri. Padahal, perguruan tinggi kini semakin berbenah diri meningkatkan kualitas mutu pendidikan untuk menelurkan lulusan yang kompeten. Seperti yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi London School of Public Relations (STIKOM LSPR) Jakarta.
Menurut Media Relation LSPR Riska Septiana, pengajaran yang diberikan di LSPR, tidak ubahnya dengan bersekolah PR di London, Inggris. LSPR menggunakan silabus dan kurikulum internasional yang mengacu pada London Chamber of Commerce Industry Examination Board, Inggris, serta menjalin kerja sama dengan University of Cambridge, Inggris, serta universitas ternama di Singapura dan Malaysia. Kelebihan di bidang kurikulum tersebut diikuti dengan jajaran staf pengajar yang berstandar internasional. Didukung dengan keterlibatan pengajar asing yang merupakan praktisi di bidang komunikasi yang berkewarganegaraan Kanada, Inggris, dan Australia.
Untuk menjawab tantangan kebutuhan akan penguasaan bahasa Inggris, di setiap kelasnya diberlakukan bahasa pengantar yang bersifat bilingual. Khusus untuk mata kuliah yang diajar dosen asing, penyampaian dan diskusi pelajaran dilakukan murni dengan bahasa Inggris. Penguasaan bahasa asing ini sudah digalakkan sejak siswa duduk di tahun pertama. Riska mengaku, setiap tahun LSPR tidak pernah sepi peminat.
"Yang paling menonjol memang konsentrasi PR. Peningkatannya lumayan signifikan, meski baru terlihat di tahun kedua pendidikan pada saat pemilihan konsentrasi studi," ungkapnya.
Hal ini dikarenakan, lanjut Riska, semakin tingginya kesadaran perusahaan untuk menggunakan tenaga PR. Menurutnya, hal ini didukung dengan kemajuan era komunikasi globalisasi, yang membuat dunia tanpa batas. Setiap perusahaan membutuhkan kehadiran PR sebagai mata dan telinga mereka. Dengan semakin ketatnya dunia persaingan, menuntut PR tampil maksimal untuk kemajuan perusahaan.
"Itu tidak bisa dilakukan secara otomatis, butuh penyesuaian diri dan pengalaman di lapangan. Sebagai batu loncatan LSPR mewajibkan setiap mahasiswa untuk mengikuti program magang," ujar Riska. Kebutuhan magang mahasiswa diakomodasikan oleh divisi Career Center yang bertugas mempertemukan perusahaan dengan mahasiswa yang akan magang. Perusahaan tersebut sebagian besar membuka lowongan juga untuk menjadi tenaga paruh waktu.
Lain lagi dengan Universitas Indonesia (UI). Kebanyakan para mahasiswanya magang di stasiun televisi RCTI dan beberapa perusahaan konsultan PR. UI membuat inovasi pembelajaran dengan menyediakan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan user. User yang dimaksud adalah beberapa perusahaan serta profesional senior, yang sengaja diundang untuk mengetahui kompetensi yang mereka inginkan berkaitan dengan tenaga PR yang dibutuhkan. Perusahaan yang diundang datang dari berbagai lini, di antaranya perusahaan minyak asing, pertambangan, serta agensi yang sebagian besar menyerap tenaga lulusan PR.
"Setelah diskusi dengan pihak eksternal, pihak sekolah akan menyesuaikan kurikulum dengan keinginan perusahaan," imbuh Drs Fauzi Syuaib MPd.
Lebih lanjut Fauzi mengatakan, kurikulum tersebut dalam kurun waktu tiga tahun sekali, selalu diperbarui untuk mengikuti perkembangan terbaru dunia kehumasan. Porsi praktik dan teori yang diberikan sekitar 60 persen teori dan selebihnya praktik. Beda dengan porsi pengajaran yang diberikan pada program diploma 3, yaitu kebalikannya.
Pengajar UI sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Sebagian besar adalah praktisi kehumasan. Sehingga mereka tidak hanya mengajari kontekstual semata, tetapi disokong pengalaman yang sudah mantap yang dapat dijadikan sebagai bahan ajaran kegiatan praktikum. Staf pengajar UI kebanyakan juga memiliki perusahaan konsultan PR.
Bagi mahasiswa yang berprestasi, terbuka kesempatan untuk bergabung di konsultan PR tersebut, "Di samping itu, kami pun memiliki akses yang luas dengan perusahaan bonafide. Mereka sering meminta lulusan UI untuk menempati posisi humas di perusahaannya," kata Fauzi.
Menurut Fauzi, profesi PR berpotensi kuat menjanjikan. Sebab, dibanding iklan, ada aspek-aspek tertentu yang hanya dapat dicapai oleh tenaga PR. Sebut saja biaya yang lebih murah ketimbang beriklan, dan khususnya ketulusan yang dibangun oleh pihak staf humas dengan pihak luar seperti masyarakat atau media. Ketulusan ini nantinya akan berpengaruh dalam pembentukan citra perusahaan. Bukan hanya itu, profesi ini dapat diisi oleh lulusan mana pun yang kompeten. Sebab, tidak dibutuhkan sertifikat keilmuan spesialisasi.
Hal ini diakui oleh Managing Director PR EE Comm Erina Elprisdat. Erina mengaku banyak stafnya yang bergabung di EE Comm tanpa memiliki track record sebagai lulusan humas. Dalam pandangannya, lulusan Monash University ini berpendapat, profesi humas membuka kesempatan untuk berkarya sekaligus menarik keuntungan yang menggiurkan.
"Sekarang PR makin dibutuhkan oleh perusahaan, karena bisa mengangkat produk yang ditawarkan perusahaan juga. Dan profesi ini hanya bisa dilakukan oleh tenaga lokal, jika klien di luar negeri ingin berpromosi ke wilayah domestik," ujar wanita yang sudah 10 tahun mendirikan perusahaan konsultan PR ini.
(sindo//tty)
Sumber:
http://lifestyle.okezone.com/