November 6, 2009
Oleh Nukman Luthfie
Semakin banyak pengguna Internet yang bersukaria di social media, semakin berwarnalah Facebook, Twitter, Plurk dan sejenisnya. Semakin berbunga-bunga pula para marketer menggeluti media baru ini lantaran konsumen bersuara bebas di sini, sehingga para marketer lebih mudah mendapatkan customer insight yang selama ini begitu sulitnya didapat. Namun, pada saat yang sama, pihak Human Resource risau, semakin aktif karyawannya di social media, produktivitas karyawan menurun. Demikian pula, pihak Public Relations juga waswas karena kicauan karyawan di Twitter, kegembiraan karyawan memperbarui status di Facebook, tak jarang berpotensi menodai nama baik perusahaan. Social media kini seperti buah simalakama bagi perusahaan.
Contoh mutahir, terjadi kemarin, Kamis, 5 November 2009. Seorang yang mengaku bernama Evan Brimob, melalui Facebook, mengatakan “Polri gak butuh masyarakat, tapi masyarakat butuh Polri, telan hidup2 cicak kecil…” Terlepas soal salah atau benar, pernyataan itu segera menyulut reaksi negatif secara masal. Group-group anti EvanBrimob bermunculan di Facebook. Kecaman keras juga bermunculan di Kaskus. Keriuhan ini kemudian merembet dan menjadi berita di Detik.com. Bahkan, melalui Twitter, Wakil Presiden Boedino bertanya, siapakah EvanBrimob ini.
Sekali lagi, terlepas soal benar/salah, pernyataaannya menimbulkan reaksi negatif, apalagi di saat nama baik Polri sedang dipertaruhkan di tengah kasus yang disebut-sebut sebagai Kriminalisasi KPK. Hanya karena pernyataan seorang anggota Brimob di social media, dampaknya langsung mengenai Polri sebagai institusi.
Sebenarnya, cukup banyak pengguna social media di Indonesia yang bersukaria mengekspresikan dirinya di Facebook dan Twitter, yang tanpa mereka sadari, berpotensi merusak nama baik institusi atau perusahaan tempat mereka bekerja.
Coba perhatikan teman-teman kita di social media yang kadang tanpa sadar mengeluhkan suasana kerja yang brengsek di kantornya, menjelek-jelekkan teman sendiri, dan bahkan bosnya.
Atau, coba baca status teman yang menulis jelek mengenai sebuah produk yang sesungguhnya adalah saingan perusahaannya.
Kadang kita juga membaca status teman di social media mengenai apa yang sedang mereka lakukan berkaitan dengan pekerjaan, padahal jika mengacu pada peraturan perusahaan itu sifatnya rahasia.
Atau bahkan status ringan-ringan yang bisa multipersepsi, misalnya seperti ini: “Buseeettt, gajian belum turun nih, padahal sudah pingin beli sepatu baru“. Bagi yang tahu konteksnya, akan tertawa membaca status itu, dan paham bahwa ia ingin beli sepatu segera, meski tanggal gajian belum tiba. Namun yang tidak paham konteks, dan membaca status itu saat tanggal gajian, akan berpotensi salah persepsi: perusahaan tempat bekerja temannya itu sedang kesulitan likuiditas dan terlambat membayar gaji.
Cukup banyak contoh-contoh status di social media yang niatnya bersukaria namun berpotensi menjadi dukaria, baik buat diri sendiri maupun buat perusahaan.
Dulu, salah satu pepatah yang populer adalah “mulutmu harimaumu”. Kini, di era social media, “Facebookmu, Twittermu, Plurkmu, Blogmu adalah harimau-harimaumu“.
Maka sebelum terlanjur menjadi budaya bebas lepas di social media, pegang teguhlah pada etika-etika, baik itu etika perusahaan, bisnis, maupun sosial tatkala kita bersukaria di social media.
Bagi yang berstatus karyawan, baca baik-baik peraturan dan kode etik perusahaan. Pegang teguh keduanya ketika bersukaria di social media.
Sumber:
http://virtual.co.id/blog/cyberpr/bersukaria-dan-berdukaria-di-social-media/